Media Aktivis Indonesia.Com | Jakarta - Di negeri ini di Indonesia, rasanya jadi koruptor maling uang negara bukanlah hal yang benar-benar menakutkan. Cukup setor sebagian besar atau kecil dari hasil perampokan ke kas negara, hukum langsung menjadi lembut. Tak perlu khawatir tangan terborgol di depan kamera wartawan, apalagi mendekam lama di balik jeruji besi. Bukankah uang bisa membeli apa saja termasuk “meringankan” segalanya?.
Masyarakat kini semakin pesimistis melihat keadilan di
Indonesia. Kasus demi kasus korupsi justru memperlihatkan betapa hukum sering hanya menjadi permainan angka. Yang besar membawa pulang hasil jarahan, sementara yang kecil habis digilas sistem. Bukankah ini cermin bahwa keadilan telah berpihak kepada mereka yang mampu “menyetor”?.
Hukum Di Indonesia Hanya Berlaku Untuk Masyarakat Ke Bawah Karena Hukum Di Negara Ini : Tajam Ke Bawah, Tumpul Ke Atas.
Kita sering mendengar ungkapan klasik ini. Namun, di ranah penegakan hukum korupsi, frasa ini terasa lebih nyata dari sebelumnya. Seseorang yang mencuri ayam untuk bertahan hidup bisa langsung dipenjarakan tanpa ampun. Namun, pejabat yang merampok miliaran uang rakyat malah melenggang santai setelah mengembalikan sebagian hasil kejahatan. Apakah adil ketika uang lebih berperan daripada moralitas?
Mekanisme pengembalian kerugian negara, seperti restitusi dan justice collaborator, sejatinya dirancang untuk memulihkan keuangan negara dengan cepat. Namun, tanpa transparansi dan pengawasan ketat, mekanisme ini justru sering dimanfaatkan sebagai tameng untuk menghindari hukuman berat. Akibatnya, pesan moral yang sampai ke publik adalah: “Korupsi saja dulu, bayar nanti kalau ketahuan.” Pada Hari Senin 06 January 2025.
Bayangkan seorang pencuri mobil berkata kepada hakim, “Mobilnya sudah saya kembalikan, jadi hukumannya jangan berat-berat.” Tentu saja ini absurd! Namun, itulah yang terjadi dalam banyak kasus korupsi. Pelaku cukup mengembalikan sebagian dari uang hasil jarahan, dan mereka bebas menjalani hukuman ringan. Padahal, korupsi tidak hanya merugikan materiil, tetapi juga merampas hak-hak rakyat untuk hidup layak.
Pemerintah dan aparat hukum harus menyadari bahwa kepercayaan masyarakat adalah investasi terbesar. Langkah tegas diperlukan, termasuk:
1. Memperberat Hukuman: Hukuman fisik dan sosial yang nyata harus diterapkan untuk menciptakan efek jera.
2. Transparansi Proses: Seluruh mekanisme hukum harus dibuka ke publik untuk menghindari kecurigaan adanya negosiasi di balik layar.
3. Revisi UU Anti-Korupsi: Perbaiki celah hukum yang memungkinkan pelaku korupsi “membeli” kebebasan mereka.
4. Penguatan Lembaga Anti-Korupsi: Pastikan KPK dan aparat penegak hukum lainnya tetap independen, tanpa tekanan politik maupun ekonomi.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa, dan pelakunya harus dihukum luar biasa. Jika hukum terus kendor, bukan tidak mungkin, rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan, bahkan kepada ide bahwa keadilan masih ada di negeri ini.
Reporter : Redaksi